SPSNEWS, TOBA –Minggu
terakhir menjelang Natal 24 Desember 2020 menjadi moment Natal yang pahit
bagi 5 Masyarakat Adatt Raja Bius Butarbutar Ketrunan Oppu Ondol Butarbutar
Sigapiton, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatra Utara. Nurveni Butarbutar, Hisar
Butarbutar (Kepala Desa Sigapiton), Muliter Butarbutar, Mederika Butarbutar
dan Manogar Silalahi diperhadapkan dengan sejumlah pasal oleh Polres Tobasa.
Bukannya mendapat
parcel dan bingkisan kado natal, keenam orang itu justru memperoleh surat
panggilan dari polisi untuk menghadiri pemeriksaan. Sesuai surat panggilan
yang dialayangkan polisi pada 15 Desember 2020, mereka diminta hadir pada
Senin 21 Desember 2020 ke Polres Toba. Keenamnya dilaporkan Edward B Sinuhaji
Pejabat BPODT pada 13 Oktober 2020 dengan nomor LP /277/X/2020/SU/TBS.
Mereka dinyatakan
masuk ke dalam pusaran perkara tindak pidana "pemakaian tanah tanpa izin
yang berhak atau kuasanya yang sah dan mengganggu yang berhak atas kuasanya
yang sah dalam menggunakan haknya atas sebidang tanah sebagaimana yang
dimksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a dan b Perpu nomor 51 tahun 1960
tentang larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang
diketahui terjadi pada Mei 2018 di lahan milik Badan Pengelola Otorita Danau
Tona (BPODT) yang beralamat di Desa Pardamean Sibisa Kecamatan Ajibata.
Berdasarkan
penelusuran Tempo ke Sigapiton Dusun Sileang-leang Kecamatan Ajibata Kabuapten
Toba pada Selasa 15 Desember 2020,
pengerjaan pembangunan pariwsiata yang dikelola BPODT di sekitaran The
Kaldera Toba Nomadic Escape sedang berjalan. Alat berat becko dikerahkan
membuka jalan melalui perladangan warga dari Pardamean Sibisa menuju hutan
Harangan Motung.
Adalah Nurveni
Butarbutar, satu dari sekian warga yang bertahan ditemui, membawa Tempo
menyusuri perladangan bekas tanaman kopi dan jagung miliknya yang baru saja
diratakan dengan tanah oleh pihak BPODT. Cerita Nurveni, peristiwa yang tak
bisa mereka hadang itu terjadi lagi pada Sabtu 12 Desember 2020 lalu tepat
pada hari ulang tahunnya.
Ada tanaman
holtikultura yang dibabat habis, seperti cabai, labu, jagung termasuk kopi.
Batang-batang kopi masih segar terlihat akhirnya gagal dia panen, dan buah
labu yang ditanamnya ada yang tersisa dibawanya pulang.
Kata Nurveni, dia
hanya bisa melihat tanamanya dibabat habis pakai alat berat pihak BPODT yang
disebut-sebut menunjang pembangunan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional
Danau Toba. Nurveni mengaku awalnya tidak mengira akan ada pembukaan jalan
yang melintasi ladangnya. Memang, sepengakuannya dia melihat alat berat
tersebut diturunkan dari mobil truk fuso pada Sabtu lalu.
Dengan kondisi lelah
di ladang, Nurveni pulang ke rumahnya, ternayata di belakang Nurveni alat
berat tak disangka bekerja membuka jalan tersebut. Peringatan agar telebih
dulu mengumpulkan hasil tanamannya tak juga diterima Nurveni. Justru, tanaman
labu yang ditanamnya masih diambil oleh pekerja-pekerja dari BPODT.
“Karena sudah lelah,
aku pulang ke rumah. Anak dan keponakanku bikin perayaan ulang tahun dan
memotong kue. Tapi, di saat keponakan menyanyikan lagu “selamat ulang tahun”
saya mendengar suara mesin. Ketika aku berlari kembali, teryata alat berat
sudah dioperasikan membuka jalan melintas di atas tanam-tanaman. Bahkan, labu
yang aku tanam mereka ambil,”terang Nurveni.
Meski berteriak
sekuat tenaga menghadang alat berat yang sedang bekerja, sama sekali tidak
mempengaruhi proses pembuldoseran tanaman dan ladang yang akan dijadikan
melingkari The Kaldera Toba Nomadis Esape Sigapiton. Jerit tangis hingga
pingsan Nurveni tak mampu mengalahkan deru mesin alat berat yang terus
beroperasi membuka jalan, Satpam yang berjaga juga tak mampu dia lewati.
Secara psikologis,
Nurveni masih dibayangi rasa ketakutan akan kehilangan lahan yang diangapnya
telah diwariskan nenek moyangnya Oppu Ondol Butarbutar. Apalagi, sampai saat
ini Nurveni mengaku memang menggangtungkan hidup dari ladang kopi serta
tanaman holtikultuta seperti cabai,labu jagung dan ubi yang diatanam
sebelumnya.
Menurut Nurveni,
BPODT kerap membenturkan mereka dengan aparat keamanan serta sejumlah Satpam yang berjaga di The
Kladera Toba Nomadic Escape Sigapiton. Intimidasi melalui isi surat lebih sering
mereka alami, seperti halnya yang pernah terjadi petugas BPODT mendatangi
mereka atas nama surat perintah pimpinan untuk mengerjakan lahan, namun
menakuti masysarakat.
Sesuai isi, ternyata
surat perintah yang dimaksud jsutru berbeda denga apa yang disampaikan secara
lisan. Praktik ini dianggap Teknik mengintimidasi secara halus. “Pernah kami
didatangi, kalau mereka bilang datang dengan surat perintah untuk mengerjakan
lahan dan bilang kalau poho kopi kami sudah dibayar ganti rugi. Memastikan
itu, kami mendatangi petugas Satpam
yang diutus dan ternyata isinya berkaitan dengan penyerahan lahan yang
belum disetujui agar kami menandatanganinya,”kata Nurveni lagi.
Masih kata Nurveni,
sebagai keturunan oppu Ondol Butarbutar telah mengalami kerugian atas terbitnya HPL
BPODT Seluas 279 Ha. Apalagi, antara Sigapiton dengan Pardamean Sibisa objek
lahanya sedang dalam kedaan tumpang tindih.
Pengakuan
Nurveni,mereka kini telah kehilangan lahan perladangan, permukiman dan
perluasan permukiman, pemakaman dan areal perburuan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga Oppu Ondol Butarbutar. “Kami enggak punya apa-apa lagi. Sumber
penghidupan memang hanya ini, dan hanya saya yang mencari nafkah pada
keluarga kami. Sampai sekarang kami panik, tanah adalah tanah kami tapi apakah
nanti jadi orang luar yang berkuasa di atas tanah kami ?,”keluh Nurveni.
DITUDING MASYARKAT
LIAR
Dampak lain yang
paling membuat mereka tersinggung menurut Nurveni mereka terusik dituding sebagai
masyarakat liar di tanah leluhurnya. Hak azasi hidupnya dianggap tercabut,
harkat martabat seluruh keturunan Ompu Ondol kini tidak jelas pasca
pembangunan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Danau Toba yang
digadang-gadang menyejahterahkan masyarakat.
PENGERAHAN APARAT
Menurut Nurveni,
intimidasi telah mereka rasakan sejak awal pembukaan jalan yang pertama kali,
yakni dari Talpe Sigapiton menuju Silali pada September 2019 lalu. Saat
itu,pembukaan jalan awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh BPODT.
Nurveni pun mengaku berupaya menghadang alat berat berupa buldoser yang
ketika itu dioperasikan 2 oran pekerja.
Hari pertama, pelarangan
berhasil dilakukannya dan operator alat berat tersebut menghentikan
buldosernya. Hari selanjutnya, kata Nurveni dia tak lagi mampu menghentikan
alat berat karena apparat sudah ramai disigakan dalam pelancaran pembukaan
jalan.
Tragedi pun memuncak
pada 12 September 2019 lalu, kaum ibu bahkan nekat bertelanjang bulat demi
menghadang alat berat yang dikawal apparat. Bersamaan dengan dioperasikannya
alat berat, BPODT mengajak aparat keamamanan melewati pengadangan warga.
Spontan kaum ibu
membuka pakaiannya satu persatu mengadang aparat TNI/Polri dan Sat Pol PP
yang mengawal alat berat ke Batu Silali, dan para kaum ibu bertahan di lahan
kopi. Sebelumnya juga, terang Nurveni pembukaan jalan tersebut juga sudah
pernah menjadi persoalan karena dianggap melintasi kuburan leluhur mereka.
Bentrokan juga tidak terhindarkan, aparat dan warga ada yang terluka dan kaum
ibu pingsan.
Perubahan makam tua
menjadi jalan perlintasan dari Sigapiton Talpe menuju Pardamean Sibisa bagi
ketrunan Oppu Ondol Butarbutar adahah bagian pelecehan. Bukan tidak
beralasan, Menurut Nurveni bagi Masyarat Batak Toba situs atau pemakaman
leluhur merupaka bagian penting sejarah hidup dan penghormatan kepada nenek
moyang oleh orang Batak secara umum.
“Padahal dulu Bapak
Luhut Binsar Panjaitan dulunya, sebelum membuka jalan itu akan terlebih dulu
dirundingkan, nyatanya berbanding terbalik, dan sampai sekarang tidak ada
terasa,”ujar Nurveni.
Menurut Nurveni,
banyak yang telah mereka korbankan selama berjuang baik mental serta
psikologis yang sampai terganggu. Parahnya lagi, Basaria Boru Sinaga alias
Oppu Winda salah satu Lansia yang juga ikut serta dalam perjuangan terkena
serangan jantung setelah menerima surat pelaksanaan pembongkaran. Surat yang
diantar oleh petugas BPODT tersebut mengakibatkan Oppu Winda jatuh sakit.
Surat tersebut
berisi perintah untuk eksekusi bangunan rumah tidak permanen diganti rugi senilai
Rp 5 juta, sedangkan untuk rumah permanen diganti Rp 20 Juta. Meski
dijanjikan ganti rugi, Kata Nurventi warga tetap menolak lantaran takut
terjebak dan status lahan milik mereka jadi kabur
“Dialah yang pertama
menerima di sini dari satpam, jadi dia yang membaca pertamanya. Sejak itu,
dia drop dan tidak laku makan dan itulah pemicu dia sakit. Kami bawa berobat
ke Aek Natolu juga ke Pematang Siantar, tapi akhirnya seminggu kemudian
meninggal dunia,”kata Nuveni Butar-butar.
Pada perjuangan
sebelumnya, Basaria Sinaga termasuk orang yang gigih mempertahankan wilayah
adat mereka yang otoritasnya di bawah Paguyuban Bius Raja Maropat. Lagi-lagi,
sebelum berhadapan dengan BPODT mereka telah memperjuangkan tanah adat yang
dinyatakan masuk sebagai Kawasan Hutan Negara agar dikembalikan kepada pemilik
sesuai hitorisnya.
Duduk Perkara
Berdasarkan
penelusuran Tempo, Masyarakat Adat Raja Bius Butarbutar Keturunan Ompu Ondol
Butarbutar Desa Sigapiton masih sedang memohon penyelesaian pengajuan
pengembalian kepada BPODT dan Kementerian Lingungan Hidup atas tanah seluas kurang lebih 120 Ha yang disinyalir
diserobot BPODT. Mangatas Togi Butarbtar sebagai perwakilan Keturunan Ompu
Ondol yang dipercayakan mengatakan bahwa lahan tersbut telah dikuasai secara
turun temurun sedikitnya 8 generasi.
Menurut Mangatas
lahan 120 Ha yang terletak di Dusun Silaeang-leang Desa Sigapiton Kecamatan
Ajibata diklaim secara sepihak oleh BPODT tanpa ada peyelesaian melalui musyawarah
dan mufakat kepada kelompok Butarbutar Sigapiton. Padahal, pada tahun 1800-an
Ompu Ondol telah membuka perkampungan “mamukka huta” di lokasi tersebut.
“Sekitar tahun
1890-an, leluhur kami diperkirakan meninggal dan dimakamkam di areal lokasi
areal perkampungan Dusun Sileang-leang tesebut. Dan yang membuka perkampungan
sesuai hukum adat adat Batak Toba, mempunyai wewenang secara mutlak menentukan
kebiasaan adat yang berlaku termasuk aturan peratnahan “partanoan”. Dan
sesuai dokumen, Sebagian lahan adat tahun 1975 dipergunakan Dinas Kehutanan
Provinsi Sumatera Utara guna perluasan tanaman reboisasi,”kata Mangatas Togi
Butarbutar.
Kepala ATR/Badan
Pertanahan Nasional justru menerbitkan Hak Pengelolaan (HPL) nomor 01 dan 02
seluas 279 Ha pada 20 Desember 2018 yang secara administrasi terletak di Desa
Prdamean Sibisa untuk zona lokasi pembangunan pariwisata Danau Toba.
Sayangnya, kata Mangatas Togi Butarbutar lahan tersebut objek yang kini
ditetapkan menjadi lahan BPODT yang justru mencaplok areal 120 Ha milik
Mayarakat Adat milik Masyarakat Adat Kelompok Oppu Ondol Butarbutar.
Penerbitan
Sertifikat HPL ini diangap tidak melalui prosedur sesuai peraturan yang
berlaku. Soalnya,lahan tersbut sebelumnya secara administrasi juga berada di
Kawasan Administratif Desa Sigapiton.
Ketidakpastian tapal
batas oleh Pemkab Toba dan tidak adanya tapal batas antara Desa Sigapiton
dengan Desa Sibisa. Sementara dalam dokumen disebut zona HPL BPODT nomor 1
dan 2 berada di wilayah 3 desa, yakni
Sigapiton, Motung dan Pardemean Sibisa dan penandatanganan dokumen HPL juga
tanpa diketahui Kepala Desa Sigapiton. Dampak penerbitan HPL oleh BPN Toba
untuk Lahan BPODT di atas dua wilayah
desa berbeda, membuat seluruh keturunan Oppu Ondol Butarbutar mengalami
kerugian immaterial dan material. Harmonisasi antar Desa juga terganggu dan
menyeret mereka ke dalam pusaran konflik.
Kepala Desa Lebih
Mempersoalkan Kehutanan
Hisar Butarbutar Kelapa
Desa Sigapiton menyikapi konflik ini lebih mempersoalkan pertanggung
jawban Dinas Kehuatanan diibanding BPODT. Yang paling menjadi masalah adalah menurut
Kepala Desa di Sigapiton adalah klaim kehutanan pada bekas ladang bawang
warga, termasuk kuburan.
“Kalau urusan BPODT dengan Sigapiton, yang
di atas adalah urusan mereka. Tapi itu diklaim kehutanan, meski memang tidak
terlepas masalah warga di sana adalah bagian dari masalah Desa Sigapiton,”sebut
Kepala Desa.
Masalahnya lagi,
kata kepala desa kini terjadi saling klaim antara Desa Pardamean Sibisa
dengan Desa Sigapiton. Sampai saat ini ketidaan tapal batas yang defenitif
tentu menjadi pemicu gesekan antar desa Sigapiton dengan Desa Pardamean
Sibisa.“Hingga saat ini belum ada dieperdakan batas tetap. Padahal kami,
tahun 1975 sudah kami buat Dusun Sileang-leang Sigapiton,”terangnya.
The Kaldera Toba Nomadic
Escape saat ini pun menurut Kepala Desa secara adminisrasi juga masuk ke
Wilayah Sigapiton. Sehingga, walau pun marga Butarbutar atau marga tertentu
saja yang berkonflik dengan BPODT, tapi tentu tidak terlepas bahwa masalah
itu adalah bagin dari masalah warga Sigapiton yang memang tergabung dalam
paguyuban Bius Raja Paropat Sigapiton.
Hisar berujar Pemerintah Kabupaten Toba sudah waktunya
membuat Perda Tapal batas yang defenitif sehinga tidak smpai terjadi konflika
atau gesekan sesama masayarakat atau pun sesama desa antar desa. Pada
penyerahan awal untuk reboisasi dulunya kepada Dinas Kehutanan tidak ada
tenggang waktu.
Juga, ketika itu
masyarakat tidak menyadari wilayah adatnya pada pada ujungnya bakal diklaim
kehutanan. Sepengetahuan mayarakat, tanah tersebut bukan untuk diserahkan ke
negara sebagai hutan negara, meski belakangan
mereka menyadari tahan tersebut mereka lepas secara tidak langsung
kepada negara.
“Ketika
itu,masyarakat butuh uang dan diberikan imbalan setelah menanam pinus oleh
pemerintah. Padahal yang jelas bukan penyerahan hak oleh warga terhadap Dinas
Kehutanan,”jelas Hisar.
Parik huta termasuk
sebagai satu benteng dan kuburan yang ada di Sileang-leang memang sudah
hancur akibat pembukaan jalan yang dilakukan BODT secara paksa. Ketika ada
solusi yang baikdari BPODT dan pemerintah tentu ini tidak ada ada konflik.
Factor lain penyebab masalah ini sulit
terpecahkan kata Kepala Desa karena warga Sigapiton kini telah terbagi dua
bagian, yakni masyarakat Keturunan Oppu Ondol Butarbutar.
Sejak awal, sebagai
Kepala Desa dirinya mengaku telah
berupaya mempertemukan sesama warganya, namun tidak ditemukan jalan
keluar. Berkaitan juga dengan perusakan makam, sebagai kepala desa dia mendukung
warganya dan turut ikut membuat pengaduan ke Polres Toba.
“Tapi sampai
sekarang, tidak ada tindak lanjut”Ujar Hisar.
Sebelum ada
sertifikat BPODT, SKT kepemilikan tanah juga sudah diterbitkan pemerintah
desa sebelum HPL terbit untuk BPODT. Namun, menurutnya dalam hal ini BPODT
sebenarya termasuk menjadi tumbal Kementerian kehutanan, karena berhadapan
lansgsung dengan masyarakat tanpa terlebih dahulu menilik keberadaan tanah
secara historis.
Menurut
sepengetahuan Hisar, masyarakat sebenarya bukan menolak pembangunan, Namun,
masyarakat menginginkan kontribusi dan pengakuan status lahan saja.“Harusnya
ini memang, harus kehutanan dulu yang diclearkan, yang bermasalah sebenanrnya
adalah masyarakat dengan kehutanan, termasuk BPN. Sayangnya, BPODT hanya
mengandalkan dokumen kehutanan yang jutru sepihak,”terangnya.
Tanpa Tahu Batas
Desa BPN Toba Bisa Keluarkan HPL BPODT
Digugat oleh
Mangatas Togi Butarbutar ke PTUN hingga tahap Kasasi ke Mahkamah Agung (MA)karena
menerbitkan HPL BPODT, Saut S Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten Toba tidak tahu menahu. Soalnya kata Saut perolehan untuk lahan
BPODT diperoleh dari Kementerian Kehutanan.
“Kalau melihat
proses di kita kan, kalau BPODT
memperoleh tanah itu dari Kementerian Kehutanan, sementara satu sisi mereka Keturunan
Oppu Ondol menyatakan bahwa itu adalah tanah mereka. Kalau masyarakat
Pardamean Sibisa di sana (Non Masyarakat Sigapiton) mengatakan tidak ada
tanah mereka di situ. Pro kontra juga mereka ini,”ujar Kepala BPN Toba.
Mengenai batas-batas
desa sehingga terjadi saing klaim atas tanah di Desa Pardamean Sibisa dan
Dusun Sileang-leang antar masyarakat ke dua desa Saut selaku Kepala BPN tidak
mengetahui penetapan wilayah. Dia berdalih, yang menentukan batas tersebut
adalah Pemkab Toba dalam hal ini Bupati Toba sbagai pemilik wewenang.
Menurut Saut,
melihat batas-batas kedua desa menjadi hal yang sulit karena berada dalam
Kawasan Hutan. Dia mengakui sampai sekarang batas desa yang defenitif tidak
ada, padahal BPN Toba telah buru-buru mengeluarkan HPL untuk BPODT.
Soal histori
penyerahan lahan untuk dijadikan hutan dan program reoisasi pada tahun 1975
oleh Keturunan Oppu Ondol Butarbutar, menurut Saut BPN tidak
tahu-menahu. Untuk proses BPODT hanya menerima
SK Kehutanan dari Kementerian Kehutanan dan BPODT meminta pelepasan status
hutan untuk dikuasai.
Talpe-Motung 107
Jarak Panjang Kurang Lebih 2,5 Km
“BPODT meminta itu
dilepaskan dari hutan produksi menjadi HPL untuk keentngan BPODT,”terangnya.
Menanggapi
pernyataan masyarakat yang mengaku tidak dilibatkan dalam pembuatan HPL untuk
BPODT, Saut menepis. Dia berkata itu tidak tidak benar, alasannya karena pada
proses awal warga sudah mengetahui dan sehingga ada proses mediasi.
Pengukuran lahan oleh
BPN Toba Kata Saut dilakukan juga karena masyarakat bersangkutan mengijinkan BPN
melaksanakan pengukuran. Dalam penyerahan ke kehutanan. BPN juga kata Saut
tidak memiliki dokumen yang dimaksud.
“Enggak ada, itu ke
Kehutananlah kita tanyak. Kalau yang dsampaikan BPODT ke kita, SK yang dia
peroleh dari kehutanan tadi yang disampaika ke kita,”jelas Saut.
Pembangunan BPODT Berjalan
Terus di Tengah Konflik, Luhut Gandeng China
Pembangunan The
Kaldera Toba Nomadic Escape Sigapiton hingga saat ini dikebut, meski satus
lahan sedang berada dalam proses sengketa. Pejabat Sementara Direktur Utama
BPODT, Reza mengatakan pembangunan kawasan masih berjalan sesuai rencana.
“Masih berjalan
sesuai rencana, membangun Kawasan Kaldera itu sebagai Kawasan Trategis
Pariwisata Nasional yang semestinya,”ujar Reza.
Sebagaimana, Menko
Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan berkunjung ke The
Kaldera Toba Nomadic Escape Sigapiton bersama Dubes China untuk Indonesia
Xiao Qian.
Kunjungan Luhut
bersama Dubes China untuk Indonesia di The Kaldera Toba Nomadic Escape
Sigapiton dalam rangka Indonesia-China Tourism and Investmen Forum For 5 Key
Super Prioty Tourism Destination. Luhut menegaskan Investor dari China dan
sejumlah negara asing lainya malah masih akan terus berinvestasi di Kawasan
Danau Toba, Sumatera Uara.
“Investor China
misalna sudah banyak berinvstasi di beberapa proyek dan masih akan menanamkan
modalnya di Kawasan Danau Toba”tegas Luhut insar Panjaitan di The Kaldera Toba
Nomadic Escape Sigapiton, Jumat 18 Desember 2020.
Berkaitan dengan
persoalan tersebut, Reza Pejabat Direktur Semantara BPODT Mengaku perihal
gugatan yang dilayangkan warga berkaitan dengan point-point yang dianggap
warga kelompok Oppu Ondol Butarbutar
merugikan, Reza mengaku belum terlalu jauh mengetahui persoalan
tersbut. Alasannya, dia baru saja bertugas 2 minggu belakangan sebagai
Pejabat sementara Direktur BPODT.
Secara detail,
termasuk masalah adminsistrasi yang tumpang tindih antara Pardamean Sibisa
dengan Sigapiton kata Reza masih akan dibahas lebih jauh bersama Pemkab Toba.
“Untuk detailnya,mohon maaf. Tapi, secara umum saya bilang memang kita sedang
melakukan pembahasan dengan Pemkab Toba. Intinya,itu kita kordinasikan dengan
pembahasanya. Tapi, untuk detailnya kita bahas lagi ya karena saya baru saja
dua minggu,”terang Reza.
Termasuk materi
gugatan yang dilayangkan Mangatas Togi Butarbutar ke PTTUN Medan hingga
berujung pada Kasasi di tingkat MA, Reza juga belum mau berkomentar terlalu
jauh. Namun, kata Reza mereka memiliki dasar hukum atas tanah yang dierahkan
kehutanan, dan memang perkara ini disebutnya masih sedang berjalan di
pengadilan.
BPODT Rekrut
Pentolan Jadi Humas, Perjuangan Renggang
Belakangan
perjuangan Masyarakat Adat keturunan
Oppu Ondol mulai pecah. Menurut
Managatas Togi Butarbutar kini masyarakat terbagi dua. Disebut Mangatas ada
pejuang yang sebelumnya getol bersama dia kini telah diangkat menjadi Humas pada
Lembaga BPODT, antara lain Manogu Manurung dan Marojahan Sirait.
Padahal, kata
Mangatas Togi Butarbutar sedari awal dirinya sudah direkrut oleh BPODT. Khawatir
terjebak dan kehilangan status lahan adatnya, penawaran jabatan Humas pada BPODT ditolaknya.
“Kalau saya, saya
tolak memang dari awal karena saya takut terjebak dan status lahan
hilang,”Mangatas Togu Butarbutar.
Sementara itu,
Manogu Manurung yang memang ikut berjuang sebelumnya atas nama Masyarakat
Adat Sigapiton mengaku memang awalnya berjalan berdampingan mempertahankan
Wilayah Adat Sigapiton. Alasan Manogu Tarik diri katanya lantaran Mangatas
Togi Butarbutar tidak mau bergabung atas nama keseluruhan Masyarakat Adat
Sigapiton.
“Yang mereka
perjuangkan yang hanya pada mereka saja, yakni bagian 120 hektar itu sja.
Kalaulah mereka tetap mau bergabung
dalam perjuangan
saya juga akan terus berjalan berdampingan. Dan saya pun memilih mundur
karena yang mereka perjuangkan adalah mereka sendiri,”sebut Manogu.
Manogu juga
membeberkan, Pihak Mangatas Togi Butarbutar langsung memisahkan bagian dan
haknya yang diperjuangkan. Menurut Manogu, mereka datang membantu Keturunan
Oppu Ondol atas nama Masyarakat Adat Paguyuban Raja Bius Maropat Sigapiton.
Dalam Hal ini, Hisar
Butarbutar Kepala Desa Sigapiton mengamini adanya pecah belah di antara
mereka. Antara Manogu Manurung dengan Mangatas Togi Butarbutar sudah tak lagi
sejalan dalam perjuangannya.
Sepengakuan Kepala
Desa Sigapiton tekait Manogu Manurung Tarik diri, dikarenakan Ketika diajak
berjuang membantu Mangatas Togi Butarbutar
namun permintaannya tak bisa dituruti. Padahal padaawal perjuangan,
kata Hisar sudah ada kesepakatan kalua lahan yang berada di Sibisa adalah
milik keturunan Oppu Ondol Butarbutar.
“Sebelumnya kan
sudah ada keepakatan,klau lahan yang di atas adalah milik Keturunan Oppu
Ondol Butarbutar. Kalau pun hanya Atas Nama Marga Butarbutar yang berjuang
secara dokumen, namun ketika berhasil pasti pembagian hak akan dilakukan
kepada sesama kelompok Raja Bius di Sigapiton di luar Bius Butarbutar
keturunan Oppu Ondol Butarbutar Sigapiton, yang tentu pasti harus berbeda
karena pemilik tanah adalah Kelompok Oppu Ondol Butarbutar,”terang Hisar.
Dalam hal ini, kata
Hisar selaku Kepala Desa perjuangan belum dilakukan. Akan tetapi, pihak yang
sebelumnya berjuang bersama Mangatas Togi Butarbutar langsung membuat besaran angka secara
tertulis untuk disepakati bersama
sebagai imbalan. Menurut Hisar selaku Pemerintah Desa Sigapiton, perjuangan
warga desanya pun melemah. pihak luar pun menurutnya mulai masuk memperkeruh
hubungan yang mereka jalin selama
turun-temurun.
“Akhirnya ada yang
menguasai hak ulayat Keturunan Oppu Ondol belakangan ini karena melihat
Masyarakat Adat Sigapiton secara umum sudah pecah. Padahal Ketika dulunya
Masyarakat Adat Sigapiton secara keeluruhan Bersatu pihak luar tidak ada yang
mengganggu ulayat kami,”sebut Hisar.
Kembali disampaikan
Mangatas Togi Butarbutar, pengangkatan jabatan humas terhadap Manogu pun dilakukan
BPODT setelah dia menarik diri dari
Perjuangan Kelompok Rja Bius Butarbutar Keturunan Ompu Ondoo Butarbutar.
Proses pengangkatan Humas dilakukan oleh BPODT antara Maret-April 2020.
Kondisi kehidupan
sosial ekonomi dan budaya Masyrakat Desa Sigapiton yang sebelumnya
berlangsung dengan tertib dalam mencari nafkah di lahan-lahan pertanian
selama ini, menurut Mangatas Togi Butarbutar telah berubah. Sejak September
2019 ketika dimulainya pembangunan pilot project yang diprakarsai BPODT
melibatkan TNI/Polri , ketegangan terhadap masyarakat pun kerap terjadi.
Puluhan warga
mendapat intimidasi dengaan upaya-upaya penggusuran paksa dan dilaporkan
pihak BPODT ke Polres Tobasa dengan sangkaan perusakan lingkungan. Hingga aat ini dua orang warga Sigapiton
telah ditetapkan Polres Toba sebagai tersangka yang prosesnya masih berjalan.
Intimidasi lainnya berupa pengerusakan
tanaman berbagai jenis di atas areal lahan 120 Ha.
“Ketika warga kami
membakar rumput di perladangan, malah dituduh membakar lahan BPODT dengan
sangkan pengrusakan lingkungan,”terang Mangatas Togi Butarbutar.
Sementara laporan
pengaduan warga ke Polres Tobasa atas pengrusakan tanaman dan situs kuburan
Oppu Ondol Butarbutar yang dilakukan oleh Pihak BPODT ke Polres Tobasa hingga saat ini belum
jelas proses penanganannya. Bentuk intimidasi lainya, adanya pelrangan oleh
Direktur BPODT melarang PLN memasang jaringan listrik ke rumah-rumah warga. Padahal, sebelumnya pelunasan sudah
dibayarkan ke PLN sebelum lahirnya HPL BPODT.
Saat ini, 26 unit
bangunan rumah tinggal milik warga Keluarga besar keturunan Oppu Ondol
Butar-butar ada klaim tumpang tindih di atas zona HPL BPODT dan diancam akan
juga dilanjutkan dibongkar paksa. “Kaldera saja meminjam lahan, tapi anehnya
kami terncam akan digusur¸selama ini tidak ada gesekan dengan Sibisa.
Sebelumnya warga Sibisa bilang ini tanahnya padahal sebelumnya enggak ada
diributi. Mereka bilang tidak ada kubun oppung kami di sini, tapi kami minta
sumpah diletakkan sirihnya di sana mereka engak berani,”jelas Mangatas Togi
Butarbutar.
Keterangan Manogu
Manurung
Runggu Manurung, Boy
Manurung dan tersangka (Mungkin sevagai manusia biasa, diancam jadi trauma
bersama) keturunan boru Oppu Ondol, padahal pada tim Terpdu dampak sosial
sudah ada pengakuan bak manderes maupun.
BPODT Rekrut, Manogu
Manurung.
SJabatan ini ditawarkan
ke saya awalnyaa, jabatan humas
Raja Bius Paropat
(Butarbutar, Sirait, Nadapdap, Manurung (Gultom,Silalahi,sijabat)
Marojakan Marga Sirait120 Ha Raja Bius
Bius Maropat Lahir
belakangan. (
8 Orang, dua lagi
adalah Edison Silalahi dan Marisi Silalahi.
2 nama yang dttapkan
tersangka ?
Nama d orng yang
dipanggil termsuk kepala desa.
Bpn Bilang lahan
BPODT mencakup 3 Wilayah Desa
Asisten Deputi Pengembangan Destinasi
Regional I Kementerian Pariwisata
|